Begitu bulan Agustus dimulai, hari-hari pun penuh dengan doa. Semua punya cerita di bulan puasa ini (termasuk Anda). Ada yang senang karena bisa mengurangi kebiasaan merokok, ada yang gembira karena jam kantor jadi lebih singkat, ada juga yang bahagia karena bisa kumpul mesra bersama keluarga. Namun, bagi saya, inilah momen paling membahagiakan dalam hidup. Saat kita bisa menguji diri sendiri untuk menjadi lebih baik; sabar dan bersyukur. Apapun kepercayaan Anda (pembaca), kita selalu dianjurkan untuk bisa melakukan dua hal itu, bukan?
Apa, sih, bahagia itu? Bahagia adalah pilihan. Jika menurut Anda berada di rumah seharian adalah bahagia, silakan. Bila bahagia bagi Anda adalah beraktivitas, silakan. Jika bahagia adalah pikiran senang dan tenang, silakan. Kita semua melakukan sesuatu karena pilihan. Selama pikiran Anda positif, maka bahasa tubuh pun akan mengeluarkan hal yang sama. Saya pun sedang memelajari apa dan bagaimana bahagia itu. Walaupun begitu, di bulan penuh berkah ini, saya membahagiakan diri dengan mencoba untuk melihat segala sesuatu dari perspektif baik. Saya mulai menyentil diri untuk lebih peka dengan sekeliling. Mengambil setiap kesempatan yang siapa tahu membawa kita pada keberuntungan dan bahagia itu sendiri. Hanya satu kuncinya; jangan mengumpat.
Setelah seminggu puasa, berbagai macam undangan buka bersama pun datang bertubi-tubi. Mulai dari teman kampus, teman kerja, teman main sehari-hari, hingga teman lama sewaktu di SMA. Saya bahagia. Karena begitu banyak yang ingat keberadaan saya. Dari semua undangan, ada satu yang paling membuat saya antusias. Bagi saya, saat-saat paling menyenangkan adalah masa SMA. Hingga kini, kami masih utuh dan bersahabat. Mereka merupakan teman-teman yang tak dapat diukur dengan apapun. Senang dan sedihnya, terasa sampai ke hati. Gembira dan marahnya benar-benar menyisakan senyum bila diingat. Setiap kali berkumpul, kami terlalu lepas dengan memori. Terpingkal berkali-kali memanggil balik kenangan. Dalam pertemuan, setiap orang punya kisah, setiap orang harus rela menjadi 'bahan' komedian, setiap orang harus bercerita.
Selama hampir 10 tahun kami berteman, kami masih berbagi dan sekali lagi berkumpul. Saya terbiasa memerhatikan sekeliling dengan detil. Menjadi emosional dan peka dengan hal-hal kecil. Ketika meja panjang tempat kami berbuka dihujam dengan tawa dan canda, saya mulai menangkap aura mereka satu per satu. Tak ada yang berubah. Di sekitar mereka, saya masih menjadi Miranti yang dulu. Miranti yang tertawa lepas dan terbahak-bahak. Saat melihat semua sibuk berbincang satu dengan yang lain, saya mulai memperhatikan gelagat. Topik candaan dan pembicaraan pun masih tetap sama; ringan dan lucu. Tapi, begitu tersadar dengan gaya berpakaian mereka (terutama laki-laki), saya mulai mengaku. Menyadari bahwa kami bukan lagi di usia belasan. Ternyata, banyak yang sudah tidak sama. The way they talk, the way they treat each other and mostly the way we put our self in there. Semua beda. Dan yang paling menonjol adalah pembawaan diri. Mereka yang dulunya tak pernah bisa serius, malam itu bersikap bijak. Yang dulunya dikenal menyebalkan, malam itu tampak gagah dan bangga, penuh wibawa. Saya bahagia. Luarbiasa terkesan. Kami berkumpul di level terbaik dalam hidup. Senangnya. Saya ingin hal ini terus berulang, tak pernah lelah untuk saling mengingatkan "kapan kita bertemu lagi?" Mulai hari ini hingga nanti.
Inilah sahabat-sahabat terbaik dalam hidup...
Inilah sahabat-sahabat terbaik dalam hidup...
(up to down: Denny, Riki dan Manda); Saya berteman dengan Denny sejak di bangku SMP, kemudian bertemu lagi di SMA. Melihat Denny sekarang, tak disangka banyak yang berubah. Ia mengenakan kemeja rapih, tampak pendiam, dan sedikit serius. Saya dan Riki tidak berasal dari sekolah yang sama. Tapi, ia merupakan teman dari teman masa SMA yang kebetulan sering berkumpul (hingga sekarang). Riki adalah laki-laki yang sudah terlihat dewasa sejak saya mengenalnya. Manda, is a womanizer. Dari dulu hingga kini, ia masih Manda yang sama. Very sweet and likes to smile. He's always been kind and treat women wisely.
(up to down; Bobby, Angga, Widi); Saya tidak terlalu mengenal Bobby saat di SMA. But I knew that he was one of the best friends a very enjoyable to hanging out. Gelagatnya lucu selalu mengundang tawa. Bergeser ke kanan Angga adalah sahabat tak terlupakan dalam hidup. Saya mengenalnya sejak SMP. Since then we became unbreakable. Dari dulu sampai saat ini pun sikap tulusnya tak pernah berubah. Ia laki-laki penyabar dan sangat membantu. As a guy he really understand what is the meaning of friendship. Sementara itu, Widi, teman yang sangat menyenangkan. Perempuan satu ini tak pernah bisa membedakan antara bercanda dan serius. Cara pandangnya lurus dan lugu. Bisa dibilang sangat positif. Hingga malam itu, ia masih Widi yang sama--menggemaskan sekaligus mencemaskan. Anyway, she just got married a couple months ago. So happy for her.
(up to down; Eko, Anggay, Dito). Sejak SMA, Eko dikenal paling peduli dengan penampilan. Sangat menjaga image dan teratur. Malam itu saat teman laki-laki sibuk di deretan sekelompok, Eko duduk di antara saya dan Astrid. Selanjutnya, Anggay--partner in crime sejati di bangku SMA. I remember one night, when she picked me up and sneak in the night. We went out just to inhale smoke two or more. It was the best moment to have a neighbor like Anggay. Berputar-putar komplek sambil berbagi cerita tentang apa saja. Nothing else but laugh; Lalu saya bertemu Dito, Izinkan saya memperkenalkan teman main sejak SD, kemudian kami bertemu lagi di dunia SMA. Senang. Back in yesterday, Dito is a womanizer--just like Manda. Pembawaannya sangat menarik. Teman saya satu ini, tak banyak bicara, namun hebat dengan lemparan-lemparannya yang sarkastik. Ia dikenal sebagai pemain bass dari salah satu band Ska terbaik hingga sekarang. Berkat selera musik yang sama, kami seringkali bertemu di lantai-lantai acara Ska. He is a rudeboy and a very tall guy than the others.
(up and down: Ipunk, Dame, Astrid); Saya bertemu Ipunk di lingkungan SMA. Meski tak terlalu mengenal lebih dalam, namun ia merupakan satu dari sekian anak yang bertahan dari kegelapan obat terlarang. Selesai rehab, Ipunk sempat mengalami struk ringan yang membuatnya sulit bicara normal. Tapi malam itu, is good to see him very happy and chilled. Di meja yang sama, saya duduk bersebrangan dengan Dameria. Potret perempuan di tengah ini akrab disapa Ame. Bagi saya ia cantik dan memiliki jari-jari tangan yang memukau--sungguh lentik. Ame merupakan teman kecil, tetangga sekaligus partner in crime yang baik. Rumahnya hanya beda satu blok dari tempat saya tinggal. Sangat mengharukan kami bisa bertemu lagi di SMA. Astrid duduk persis di sebelah saya. Perempuan yang berhasil menguruskan badannya ini suka sekali bercerita, terlebih-lebih curhat. Di mata saya Astrid adalah sosok autentik yang tak pernah malu untuk bertingkah aneh. Selama di SMA, Astrid merupakan satu dari perempuan yang sangat mudah untuk diajak bersenang-senang
(up to down: Ramon, Rizki, Hanie); Ramon adalah salah satu teman terbaik di masa SMA. Kami dekat karena Ramon sempat berpacaran dengan Hanie, sahabat saya sejak SMP. It's funny to see how they grow up. Di dekatnya saya tak pernah merasa sudah 'berusia'. Kami selalu bisa tertawa seperti anak kecil dengan mainan baru. Malam itu, kehadirannya melengkapi suasana. Perempuan paling kanan, I can't speak for her. Karena pertemanan kami sangat emosional. Kami berbagi, berselisih, berdamai, menjalankan satu usaha bersama, dan berbahagia sejak 15 tahun lalu. Hari ini hingga nanti Hanie will be the one of my best woman in my life. Inilah sepenggal kisah di balik perjumpaan langka saya dengan sejumlah teman terbaik.
and how are your best friends?
Happy lebaran pembaca,
-m