Saturday, 4 June 2011

Buka Perspektif


It's been a while that I'm not sitting in this chair to write some thoughts.
Again, I've learned from them who are in a very happy, sad or too complicated moment. It was a blessed that among of them trusted me as a good listener, also as a mind mapping-partner in their life. It's bless! Now I'm here, telling you this.

Selama sepekan ini saya sibuk bersosialisasi. Disamping huru-hara dengan setumpuk brief di atas meja, saya menyempatkan diri untuk sekadar bertemu atau berkumpul dengan para sahabat. Yang saya ambil, adalah sebuah kualitas dari suatu pertemuan; apa yang bisa dibagi, diberi, dan ditularkan. Kuncinya adalah harmonisasi. Sekali saja kita bisa menyinkronkan diri dengan jalan pikiran mereka, maka perspektif kita akan terangsang untuk menemukan jalur lain.

Saya dikejutkan dengan cerita seorang teman dari SMP. Kami berteman hingga sekarang. Bisa dibilang, perempuan ini merupakan teman terdekat saya selama 14 tahun berjalan. Baru-baru ini, kami melangsungkan pertemuan. Sebuah waktu berkualitas yang (sudah) jarang kami lakukan. Pada suatu malam, dalam perjalanan pulang menuju rumah dari kantor, hati saya tergerak untuk menghubunginya. Mengajaknya duduk ala kadar di bawah kedai kopi yang hangat.

Semenjak ia menikah dua tahun lalu, kami jarang bertemu. Satu-satunya hal yang biasa kami lakukan adalah saling menyapa di dunia maya. itu pun kami tak berbicara lama dan panjang. Jelas, statusnya tak lagi mudah seperti dulu. Saya pun segan dan berpikir dua kali bila ingin menyita waktu atau mengajaknya ke suatu tempat. Ditambah dengan kehadiran bayi perempuan lucu di tengah-tengah kehidupannya sekarang. Pasti makin banyak energi yang ia buang untuk itu. Tak tega rasanya membawa sang ibu pergi berlama-lama, jauh dari si kecil.

Ia bertutur, betapa bersukurnya dapat memiliki bayi secepat itu. Di mana beberapa pasangan—mungkin—berdoa-doa mengharapkan momongan. Saya senang dengan kata itu, “bersukur”. Ungkapan tersebut mampu membuat darah saya mengalir tenang. Tentram rasanya. Awalnya, saya terkejut bukan main saat ia menyatakan ingin menikah. Yang saya tahu, ia merupakan perempuan mandiri dengan segudang impian. Semangatnya membara, meronta-ronta ingin melakukan banyak hal. Sehingga, ketika kata “menikah” terucap dari bibirnya, sontak saya heran.

Saya pikir memang itu kemauannya. Sebelum itu, ia pernah bercerita bahwa bila hingga usia 25 ia belum mendapatkan calon, ibunya sendiri yang akan mencarikannya partner. Ia pun lekas mencari yang terbaik. Kemudian, ia menjalin hubungan dengan seorang laki-laki baik, tangguh dan memiliki selera humor setara dengannya. Seingat saya, hubungan mereka tidak berjalan lama, hingga akhirnya memutuskan untuk menikah. Laki-laki pilihannya ini, merupakan teman seru untuk bersenda gurau. Ia sangat mudah dekat dengan saya. Menurut saya, ia laki-laki yang lucu dan lincah. Meskipun sebenarnya ia termasuk introvert . Saya pikir, mereka berdua sangat cocok. Karena begitulah teman perempuan saya berlaku. Aktif dan semangat.

Beberapa bulan lalu, suaminya mengalami kecelakaan besar. Saya dan sejumlah teman kaget luar biasa mendengar berita itu. Rasa iba pun melanda. Bayi yang masih kecil, dan perkawinan yang masih seumur jagung. Rasanya tak sanggup membayangkan hal-hal buruk terjadi dalam hidup mereka berdua.

Kejadian seram itu, membuat suami harus memasuki ruang operasi sebanyak tiga kali. Lidahnya hampir putus karena benturan hebat saat ia terjatuh dari motor. Tubuh bagian kirinya lecet tak tersisa, karena terlempar kencang dari ujung ke ujung. Rahang kiri laki-laki ini retak, sehingga memerlukan adanya implantasi. Jadi, Anda bisa bayangkan, bagaimana trauma itu membungkus sekujur tubuhnya. Sedangkan masa pemulihan membutuhkan waktu berbulan-bulan bahkan menahun lamanya. Proses. Ada sebuah proses “pahit” yang harus mereka lewati bersama.

Seiring waktu berjalan, setelah dua kali operasi, wajibnya mengonsumsi obat-obatan, dan terbatasnya pemilihan makanan, saya mengerti, proses ini pasti menjenuhkan. Siapa yang tak bosan dengan tidak melakukan apa-apa selain istirahat? Pimpinan dari perusahaan tempat suami bekerja, memberi waktu dua minggu untuk ia bisa kembali pulih. Toh, tidak ada yang bisa ia kerjakan jika berada dalam kondisi sakit. Percuma.

Namun, baru seminggu saja ia menelan bubur (setiap hari), meminum jus (setiap hari), serta sejumlah obat-obatan yang harus ditelan, ditambah dengan sebuah pernyataan dokter yang mengharuskan ia untuk segera memasuki ruang operasi (ketiga kalinya). Ia mulai terlihat uring-uringan. Remember, there is a child side inside a men?

Tak sampai dua minggu, laki-laki ini memaksakan tubuhnya untuk kembali beraktivitas. Akan tetapi, sang pimpinan merasa tidak senang dengan kehadirannya. Secara fisik, ia belum diperbolehkan untuk banyak bergerak, apalagi berpikir keras. Ia memang harus berada di ruang istirahat total. Paling tidak selama enam bulan. Begitulah yang dikatakan oleh kedua dokter yang menanganinya. Satu dokter ahli bedah, dan satu lagi psikolog handal khusus mengatasi masalah trauma. Perusahaan pun tak sanggup jika harus menunggu selama itu. Maka yang terjadi, secara resmi suami teman saya mengundurkan diri. Dan hilanglah pekerjaan itu.

Masalah semakin genting dan runyam, saat ia mulai (selalu) memasang wajah ketus dalam meratapi nasibnya. Menolak untuk meminum jus (yang menurutnya rasanya tidak karuan). Ia mulai menjadi paranoid. Teman saya bertutur, jatah obat tidur yang seharusnya bertahan untuk dua minggu, habis tak beraturan dalam waktu kurang dari seminggu. Bisa dibayangkan, saat dimana saraf-saraf kita seharusnya lentur dan mengantuk, tapi dipaksa untuk berjaga. Lalu, ia mulai berfantasi.

Sekarang, perempuan tangguh yang kala itu duduk manis di depan saya, bersedih hati tanpa tangis. Sudah sebulan ini ia dan suaminya tak ada kontak. Lucunya, sang suami tak ingin melihat wajah teman saya, karena ia merasa telah dikhianati. Satu malam, laki-laki ini pernah berilusinasi dan yakin bahwa istrinya telah pergi bersama orang lain dengan mobil Avanza putih. Dalam pikiran saya “Apa ada, ya, mobil Avanza bewarna putih di Jakarta ini?” Saya sendiri merasa tidak pernah melihat. Kalau pun ada, hanya beberapa. Tapi putih?

Saya mulai mengrenyitkan jidat. Pada malam suaminya berhalusinasi, teman saya sedang berada di rumahnya bersama sang mertua. Saya percaya teman saya tidak berbohong. Bukan karena ia merupakan sahabat karib saya selama 14 tahun. Tapi karena saya mengenalnya. Jikalau ia pun ternyata memiliki affair dengan orang lain, ia akan bercerita apa adanya.

Kini, satu-satunya cara untuk berkomunikasi bersama suami adalah melalui orang ketiga. Suaminya pindah ke rumah ibunya di bilangan Puncak. Sesekali, teman saya ke sana membawa putrinya. Namun, hanya putrinya yang diperbolehkan masuk. Sedangkan teman saya di luar, do nothing except wait. Ia juga pernah menitip satu surat. Surat yang isinya bukan memaki tapi mengajak. Memberi solusi bukan ilusi.
Tapi, saat surat kedua dilayangkan kembali untuk suami. Laki-laki itu memulangkan dan menolak untuk membaca.

Apakah hati teman saya sedih? Oh, luar biasa terpukul. Hal tersebut seperti sebuah tamparan hebat di pipinya. Saya bilang, bahwa satu-satunya alasan mengapa suaminya menolak untuk membaca adalah karena ia tak kuat untuk membaca. Karena ia takut untuk membuka pikiran baru. Karena ia tidak ingin ada satu orang pun yang mengubah perspektifnya. Bahwa apa yang ia anggap, ia dengar dan ia lihat, adalah mutlak. Menurut siapa? Menurut dia?

Kita semua pasti pernah mendengar kalimat ini: bahwa di balik benar ada kebenaran lainnya. Jika ia merasa tidak mampu, itu bukan karena ia tidak bisa, melainkan ia tidak ingin. Life is choice.

Sejumlah analisa mendarat. Saya pikir, secara tidak sadar laki-laki ini menolak untuk pulih. Menolak untuk menerima keadaaannya sekarang. Lalu mencari kesalahan di dalam diri orang lain. Secara tidak sadar ia menyalahkan semua kecelakaan yang terjadi itu karena sang istri. Entah apa alasannya. Well, am telling you that you are not that bad, buddy. But if you choose to be bad, then let it be. Life is choice anyway.

Sebagai seorang intelektual. Kita harus mampu untuk membuka pikiran pada segala kemungkinan yang dapat terjadi. It’s an opinion. As a social being, we have to receive the energy from the people that surround us. Don’t close your heart, eyes and mind. Jangan biarkan asumsi itu mengelabui kita dari yang benar. Asumsi hanya pikiran tunggal yang bergerak lewat analisa hati. Bukan logika.


Happy evening, dear you!

No comments:

Post a Comment