Wednesday 17 October 2012

TOUCH DOWN: EKSOTIKA PULAU MUTIARA

Harum biru laut mengelilingi ke mana pun tapak kaki melangkah. Meraba cantik nuansa tenang pulau Pinang, ditemani atmosfer sejarah yang tak pernah hilang. 


BERVAKANSI KE SATU NEGERI di pantai Barat Laut seme­ nanjung Malaya, benar, terasa hangat. Dari Ja­karta, ke tempat ini hanya membutuhkan waktu 2,5 jam lewat jalur udara. Hingga sekarang, masih Air Asia—satu-­satunya—yang menawarkan jad­wal terbang langsung dari Jakarta menuju Penang. Bukan sebuah berita bila warga penjuru du­nia sering singgah ke Penang, demi kepentingan mendapat medical treatment terbaik. Sederet ru­mah sakit dengan teknologi terkini, para dokter dan profesor terkemuka, pelayanan bersahabat, serta ekonomis? Semua tersedia. Mereka hadir untuk menjawab “kekhawatiran” bagi mereka yang membutuhkan sehat. Menjadikan pulau ini sebagai tempat “penyembuhan” ideal, termasuk bagi masyarakat Indonesia. 

Kita mengenalnya dengan sebutan Pulau Pi­nang atau Penang dan dalam bahasa Melayu lama disebut: Isle of the Betel Nut. Penduduk setempat mengakui; Pulang Pinang Pulau Mutiara, karena kelembutan warna laut dan pasir putihnya yang mendandani pantai. Namun, bagi saya, tidak hanya kemajuan dunia medisnya yang menjadi alasan untuk bertandang. Tempat ini adalah saksi sejarah yang teramat utuh. Rasanya, tak ada yang lebih indah selain menyaksikan bangunan­-bangunan otentik nan kokoh ­­telah berdiri sejak 1700­ an. Inilah wajah asli Penang. Pemerintah setempat melarang keras penduduk lokal untuk mengubah konstruksinya. Meskipun demikian, warga diper­silakan mengecat ulang warna­-warna dinding yang mulai pudar, membetulkan jendela maupun pintu agar kuat kembali atau membenarkan pon­dasi yang tentu saja sudah rapuh. 

Lebih dari satu abad, kolonial Inggris me­nguasai negeri ini hingga tahun 1957. Jadi, bisa dibayangkan gedung­-gedung tinggi menjulang ala British memenuhi pandangan mata saya ketika itu. Salah satunya tampak jelas di daerah terpopuler, tertua, sekaligus Ibu Kota negeri Pulau Pinang, Georgetown. Dahulu, kota ini pernah dipimpin oleh seorang raja muda Ing­gris bernama Raja George III. Titel Georgetown, dihadiahkan sebagai bentuk penghormatan terhadapnya. Bisa dibilang, nyawa sejarah dan hiruk pikuk politik ada di sana. Gedung­-ge­dung berumur ratusan tahun masih tertata rapi menghiasi sudut kota. Be­cak­-becak klasik melaju riang, siap mengantar “tuan” bepergian. Bagi kita yang jatuh cinta pada budaya Cina dan India, hasrat tersimpan ini akan cukup terpuaskan dengan menemukan ba­nyak candi-­candi peribadatan yang sa­ngat terkenal lewat ukiran­-ukiran pe­nuh cerita di setiap dindingnya. 

Cerita murni keluarga Cina Nyonya Baba pada abad 19, melengkapi ruang nyata akan warisan-­warisan leluhur pada masa itu. Di kota Penang, para kaum elit, seperti Ratu Elizabeth II pernah tertulis sebagai penduduk setia semasa usia 31. Itulah sebab, Penang dijadikan kota federasi pertama dari Malaysia (setelah Singapura) sebagai jantung kota yang sibuk. Aktif dan se­mangat hingga sekarang. Berkat pesona arsitektur dan kisah abadi tersebut, UNESCO mengukuhkan Georgetown ke dalam World Heritage Site pada ta­hun 2008. Semenjak itulah, gedung­-gedung tinggi nan megah dilarang keras memadati kawasan ini. Saya dibuat takjub akan ketegasan mereka. 


BAYANGKAN SEBUAH TELAGA RAKSASA. Menye­ruak di balik kedamaian suasana yang seksi. Begitulah perasaan saya ketika tiba—bersama sejumlah kolega dekat—di Penang International Airport yang terletak di Bayan Lepas. Ke mana pun kaki saya melangkah, pemandangan laut selalu terbentang indah menye­limuti area seluas 10.463 km persegi ini. Lewat sedikit penggalian internet tentang Pulau Pinang—sebelumnya— membawa saya pada ilustrasi negeri khayangan. Indah. Benar­-benar bak mutiara di tengah laut. 

Persis seper­ti imajinasi saya, dalam perjalanan menuju hotel, terlihat samar Penang Bridge yang berdiri tegap di atas laut. Jembatan yang dibangun sejak 1985 tersebut menghubungkan Pulau Pinang dengan mainland—sebutan un­tuk negara bagian Malaysia lainnya. Ia memiliki tiga jalur sepanjang 13,5 kilo­ meter yang ditopang dua pondasi kuat. Melihatnya, mata seperti tak ingin lepas memandang, kepala pun—seiring kendaraan bergerak—ikut berputar tak beralih. Inilah jembatan terpanjang di Asia dan saya sedang menatapnya.

Memasuki setengah perjalanan, tertulis besar­-besar “Dua kilometer menuju Hard Rock Hotel Penang” pa­da sebuah baliho besar di pinggir jalan. Senang! Karena artinya kami akan segera ti­ba di salah satu tempat penginapan terbaik di sana. Tapi, sesampai di sana, saya dan beberapa teman, tak ingin berlama-­lama lagi. Segera kami meluncur menjawab rasa penasaran lainnya tentang negeri Penang. 

Se­lanjutnya, kami dibuat terpana mene­lusuri kawasan Air Itam, di mana satu tatanan kota menjelma di baliknya. Di sana, kuil Budha terbesar se­Asia Tenggara, Kek Lok Si Temple, sejak 1890 masih teronggok mantap dengan megahnya. Hari belumlah malam, saat kaki ini dengan manisnya menapak santai, hingga ke lantai atas. Saya dapat melihat jelas seluruh isi kota Air Itam dari puncak sana. Sejuk, awan-­awan putih menari pelan memamerkan ke­damaian. Pada Tahun Baru Cina, kuil ini akan dipenuhi oleh ribuan cahaya, menjelma menjadi tempat yang amat menyenangkan di mana ribuan orang bersembahyang di bawahnya. 

SAMBIL MENUNGGU SORE yang semakin menghampiri, di sini, di Air Itam, ber­naung melegenda sebuah gedung pen­didikan terkenal dari Cina: Chung Ling High School. Saya sempat mendengar sekolah hebat tersebut dari seorang teman yang bekerja di Penang Global Tourism. Berkali­-kali ia mengatakan Sekolah Menengah yang digagas pada 1917 ini, dideklarasikan sebagai seko­lah terbaik di Negara Malaysia. Hanya siswa dengan nilai A sempurna yang boleh mendaftar. Program studi pra­ universitas telah menjadi salah satu pelajaran andal milik Chung Ling. Kursus ini dimulai pertama kali pada 16 Januari 1967 dan hanya ada lima perempuan yang berhasil diterima dari total 36 siswa yang didaftarkan.

Dengan berlakunya kebijakan 60­ 40 oleh pemerintah setempat, men­dorong lebih dari 90% siswa agar mendalami studi Science Stream- ing daripada Art Streaming. Sosok­-sosok mendunia seperti Khaw Boon Wan, Menteri Kesehatan Singapura dan Ming Tatt Cheah, immunologist terkemuka di Universitas Standford, California, lahir dari sekolah ini. Pada 1942, sekolah tersebut sempat mengalami renovasi berulang kali, akibat gemparnya Perang Dunia II, saat di mana Negeri Penang jatuh ke tangan Jepang. Kala itu, operasi Sook Ching— pembantaian massal—dengan biadab menyiksa 10 guru lokal dan lebih dari 40 siswa menjadi korban kebrutalan mereka. Tragis, namun mereka bangkit segera, sesaat setelah Inggris meng­ambil alih kekuasaan—kembali—tahun 1945. Seiring proses waktu berjalan, Chung Ling tumbuh menjalankan visi dan misi mulia seperti semula. Mem­perbaiki konstruksi gedung dan resmi “utuh” pada tahun 2002.

 Kenyang akan mendengar kisah­ kisah nyata di belakang Sekolah Mene­ngah Chung Ling, tak terasa, perut ko­song saya mulai “berteriak”. Kami pun bertanya-­tanya makanan khas kota Air Itam apa yang terkenal? Jawabannya Laksa, maka­nan berjenis mi yang dihiasi bumbu kental ala budaya Peranakan; gabung­an antara suku Tionghoa dan Melayu. Meskipun, termasuk makanan mem­bumi asal Pulau Pinang. Namun, se­mangkuk laksa di persimpangan jalan Kek Lok Si Temple berada, menawar­kan rasa ‘berbeda’ dari laksa lain­nya. Bentuk mi yang bulat putih dan sedikit tebal, memanjakan lidah lewat siraman dua variasi rasa berbeda: asam sangat tajam atau dimasak menggu­nakan banyak susu kelapa. Ketika ma­tahari hampir tenggelam, aroma kuah laksa yang kuat dapat membangkitkan semangat kembali berkibar. ”Mari me­lanjutkan “penggalian”!” seru saya ke­ pada seorang teman seperjalanan.  

PENGHUNI TETAP NEGERI INI merupakan cam­puran unik dari darah Cina, Melayu, India, dan Siamese. Dari situ, garis budaya pun melebur beragam men­jadi komunitas Peranakan. Kelompok pertumbuhan yang terkenal hingga se­karang terbagi menjadi; Nyonya Baba— orang Melayu lebih suka menyebutnya demikian dibandingkan panggilan Ba­ba Nyonya—Jawi Peranakan (Melayu muslim yang menikah dengan India atau suku Cina, lalu men­ jadi muslim), dan Eurasians (perpaduan Eropa dan Asia). Menghadirkan kesemarakan yang tentu menurun ke wisa­ta kuliner dengan aneka rasa bak urutan alphabet. Dari A hingga Z, berbaur lezat ma­cam-macam aroma Asia. Sedikit asam, kadang manis mengejutkan, dan yang ter­ penting otentik.


Tak puas hanya laksa, kami pun berpindah menuju tempat makan sebenarnya. Udara sejuk malam di Pusat Penjaja Anjung Gurney (dekat Plaza Gurney berlokasi), membangkitkan selera kami untuk sekali lagi mengu­nyah menikmati makanan khas Per­anakan yang menggelitik rasa lapar saat itu. Pasembur, sekilas tampak mirip dengan rujak. Di Penang, pasem­bur dikenal sebagai adonan yang da­tang dari “tangan” suku India. Berisi bermacam adonan gorengan, dadih kacang, kentang yang direbus, udang goreng, telur rebus, tauge, cumi­-cumi, dan mentimun. Saya pun langsung me­motret wujudnya dengan cepat, meng­abadikan agar bisa dipamerkan sepu­lang ke tanah air nanti. Wisata kuliner yang satu ini memang sejenis makanan “aduk­aduk” nan gurih. Dibalur cam­puran saus kacang pedas dan manis, mengubahnya menjadi warna cokelat pekat yang sangat menggugah selera. Di sinilah letak citra rasa warna­-warni sajian Pulau Pinang yang “aneh”. Sung­guh hidangan ringan asyik untuk dici­cipi beramai­-ramai. Benar, rasa asam dan manis pun menyatu. Lucu sekali.

Siapa yang tidak tergoda, menik­mati wangi laut, sambil menyantap makanan klasik tanpa pertimbangan? Sepuas menyelesaikan sisa pekerjaan tertunda, sepuas itu pula jiwa raga kami menghabiskan malam seusai mengisi penuh kekosongan perut. Bincang­ bincang renyah di antara kami pun tak berkesudahan. Sembari menanti malam melarut, kami menunggu kan­tuk di tepi pantai. Hingga waktu tiba mengembalikan kami ke tempat tidur yang didambakan. Memasuki ruangmimpi sambil tersenyum, karena pe­ngalaman—setengah perjalanan—Ne­geri Penang yang begitu berkesan.

Mengenal dan membiarkan diri terbasuh budaya lebih dekat, seperti mengalami pengetahuan yang tak ter­bayarkan nikmatnya. Saya haus akan silsilah yang tersimpan di balik Asia. Membuatnya begitu “langka” dan tak kalah tanding, jika disejajarkan dengan negara­negara Barat. Apa yang lebih in­dah, selain berkumpul bersama orang terdekat, menyaksikan dan merasakan momen­momen “romantis” ala kita? Singgah ke Pulau Pinang, merupakan piknik surgawi yang menjunjung tinggi ketenangan dan orisinalitas. Ingin me­lakukan perjalanan singkat dan memu­tuskan mengambil penerbangan paling pagi dan kembali di malam hari? Sa­ngat bisa dilakukan! Ambil waktu libur untuk menimba semangat dan meng­apresiasi hidup lebih dalam lagi. 

____________
This article was published in More Indonesia magazine, February 2011.
Writer: Miranti Sudrajat
Art Director: Astri Lusiana
Photo: Dok. More Indonesia

















































Enjoy,
-m

No comments:

Post a Comment