Selama lebih dari empat tahun saya memiliki seorang sahabat setia. Selama itu, tentu, banyak hal yang kami lakukan bersama, termasuk menunjuk satu tempat makan favorit yang kami kondisikan. Ia memang sedang pergi. Bukan menghilang, namun membenah diri dengan caranya. Sehingga sejumlah ritual, kebiasaan, dan sikap kami pun berubah.
Selepas rapat kerja yang menguras otak dan tenaga di senja tadi, mendadak, membuat saya ingin menyepi, pergi dan melepas rindu--sendirian. Saya rindu, ingin sekali berdiskusi dan berdebat tentang apa saja dengannya, mulai dari politik hingga makanan.
Kemudian, ada energi besar yang menggerakkan hati ke satu tempat makan pinggir jalan di daerah Cikini. Warung kaki lima ini menjual masakan khas Jepang. Meski begitu, santapan Sopongiro tak kalah hebat dengan restauran-restauran di gedung megah. Lalu, saya memarkir, duduk dengan manis dan memesan menu kesukaan (seperti biasa). Penjualnya sendiri mesem-mesem lihat saya datang tanpa sahabat. Saya tersenyum dan berusaha tenang. Kedatangan saya hendak menikmati hidangan, bukan mengenang.
Saya pikir, ini merupakan sikap tepat untuk menghargai dan mengingat-ingat masa kebersamaan. Rindu itu saya bungkus rapi dan diakhiri lipatan pita. Lalu mengirimkannya ke tempat yang benar. Dua lauk dan semangkuk nasi panas, cukup membasuh pikiran saya kembali baik. Dan begitulah cara saya melepas rindu pekat agar tak membawanya pulang tersekat.
Sekarang, saya bisa menyimpan aura positif itu ke alam bawah sadar, dan menyambut pagi dengan luar biasa segar. Lega rasanya. Saya yakin, Anda juga punya segudang cara "pribadi" bagaimana mengembalikan hati dan pikiran seperti semula; tenang dan stabil.
Happy night, everyone.
No comments:
Post a Comment